Suatu hari kami
berkesempatan berbincang2 dengan Sang Guru Compassion, di acara talkshow
penutup kami di Radio Smart fm.
Sambil menunggu waktu kami
duduk bersebelahan agar saya bisa belajar dari Sang Guru mumpung beliau ada
disini.
Kebetulan kami berdua saat
itu menghadap televisi yang sedang menyiarkan berita demi berita nasional yang
provokatif dan menimbulkan kebencian.
Lalu saya mulai terpancing
untuk mengomentari tayangan demi tayangan yang disajikan yang isinya tentang
hujat menghujat dan perbuatan yang tidak pantas dilakukan.
Mulailah saya terpancing emosi
dan mengeluarkan komentar-komentar pedas, lalu saya mencoba menengok pada wajah
teduh sang Guru dan menanyakan apa komentar beliau menanggapi isu ini.
Beliau hanya tersenyum...,
dengan wajah damainya beliau hanya berkata, “ Ya..., ini semua sudah sempurna
sebagaimana adanya.”
Lalu muncul berita
berikutnya yang tak kalah hebohnya, kembali saya terpancing lagi untuk
memberikan komentar pedas setengah menghujat.
Ketika saya menengok
padanya, beliau kembali tersenyum dengan wajah tenangnya berkata pelan; “ Tidak
apa, tidak ada yang salah, semua ini sudah sempurna seperti apa adanya.”
Berkali-kali mendapat
jawaban yang sama dan tidak memuaskan hati saya, karena beliau tidak ikut
berkomentar sebagai mana pada umumnya orang segera ikutan berkomentar pedas
seperti saya, maka saya yang awam ini jadi penasaran, apa sih maksudnya ?
keadaan yang seperti ini kok dibilang sudah sempurna ?
Bertanyalah saya pada Sang
Guru, apa maksud dari kata2 beliau tadi;
Lalu dengan wajah teduh dan
damainya beliau mulai membuka kata demi kata;
"Ya kesempurnaan itu
terjadi apa bisa ada dualitas ada keduanya; ada siang dan ada malam, ada hitam
dan ada putih, ada api dan ada air, ada sehat dan ada sakit, ada kuat ada
lemah, ada lapar ada juga kenyang, ada kita di sini dan ada mereka di
sana"
“Mana yang lebih baik Api
atau Air ?” beliau tiba2 bertanya pada saya.
Lalu saya berkata; “Tentu
saja menurut saya air lebih baik dari pada api, air menyejukkan mendinginkan.”
"Nah disitulah apa bila
kita belum memahami arti dari dualitas”.
”Ambil contoh Air, air itu
dibutuhkan ketika api ada, Menyejukan itu dibutuhkan ketika ada panas, nah
apakah orang2 di kutub utara lebih menyukai air yang dingin atau api yang
hangat?.”
”Begitu pula malam datang
meneduhkan dan mendinginkan bumi dan siang datang untuk menghidupkan bumi
dengan panasnya matahari, Kebaikan itu baru kelihatan jika ada kejahatan.
Seperti polisi juga dibutuhkan jika ada penjahat., KPK eksis karena ada para
koruptor dst.”
“Itulah artinya semuanya
sudah sempurna berada pada perannya masing2, tinggal kita sebagai manusia yang
diberi kuasa oleh Tuhan untuk MEMILIH PERAN, maka silahkan tentukan kita mau
mengambil peran apa dan peran yang mana?; apakah peran Api atau air, peran
jahat atau baik.?”
"Justru jika tidak ada
salah satunya maka peran lawannya menjadi tidak lagi dibutuhkan dan berguna.”
Lalu saya bertanya lagi “
lalu bagaimana jika peran kejahatan ternyata jauh lebih banyak dari peran
kebaikan, orang jahat jadi lebih banyak dari orang baik?”
“Ya tentu saja jika itu
terjadi kita harus segera menambah jumlah dan kualitas orang2 yang memainkan
peran kebaikan.”
“Nah begitulah juga peran
anda dan kita disini, kita ada karena ada mereka disana yang merupakan
kebalikan dari peran kita bukan? “
“Semakin banyak peran yang
bukan kita maka semakin dibutuhkanlah keberadaan kita”
“Itulah mengapa kita tidak
perlu lagi menghujat dan marah pada mereka tapi bersyukur, karena merekalah
maka peran kita menjadi begitu berarti di tengah orang banyak.”
"Jadi barhentilah
menghujat, tapi belajarlah MELAMPAUI dualitas tadi."
Sadarilah sebenarnya jauh
lebih mudah mengambil peran sebagai kita yang ada disini (sebagai orang baik)
ketimbang mereka yang sedang memainkan peran mereka disana lho.. (melihat dan
menunjuk ke televisi)
Maksudnya seperti apa ?
tanya saya lagi
”Oh Iya dengan memainkan peran
kita ini kan, kita cenderung menjadi orang yang lebih banyak menuai pujian,
meskipun akan selalu ada sekali2 cemoohan (kembali lagi itulah dualitas); tapi
coba bayangkan jika kitalah yang sedang menjalankan peran mereka disana ?"
”Jadi bagaimana agar saya
bisa menuju kesana, menjadi lebih memahami dualitas kehidupan ini ?” Tanya saya
pada sang Guru.
”Jika kita ingin melampaui
dualitas, baik dan buruk dan tidak ingin lagi sering menghujat orang lain, maka
belajarlah merasakan lapar sebelum merasakan kenyang, belajarlah di hujat
sebelum di puji, cintailah siang jangan membenci malam, pahamilah dan terimalah
peran mereka masing2 sebagaimana kita menerima peran kita sendiri.”
”Karena sesungguhnya mereka
adalah guru-guru bagi kita yang sedang mengajarkan kita untuk bisa merasakan
apa arti dihujat, apa arti bersabar, ya memahami kehidupan ini secara utuh
bukan hanya separonya saja.”
”Ingat sering2 lah melatih
diri dan belajar dan merasakan menjadi orang yang di hujat dan di cemooh agar
kamu bisa tidak ikut-ikutan menghujat."
" Persis sebagaimana
para guru besar dunia dari timur dulu, bagaimana para guru ini di hujat tanpa
balas menghujat, dihina tanpa balik menghina, diludahi tanpa balik meludahi,
dibilang gila tanpa harus membalas memaki, di tampar pipikirinya diberikan pipi
kanannya, hingga pada akhirnya para guru
ini mamahami apa hakekat hidup yang sesungguhnya. ”
"Orang yang sudah
memahami betul apa hakekat dari kehidupan ini akan segera berhenti menghujat
orang lain atau apapun."
"Lalu bagaimana caranya
?" tanya saya pada sang guru.
” Caranya bisa
bermacam-macam, tapi yang paling mudah cobalah melontarkan sesuatu yang
memungkinkan orang lain untuk menghujatmu, menghakimi mu, tapi sadarilah bahwa
ini bukanlah dirimu yang sesungguhnya, melainkan hanya bersandiwara untuk
melatih diri melepaskan dari penghakiman karena dualitas kehidupan ini.” Jawab
sang guru dengan lembut.
"Belajarlah merasakan
dihujat sebelum kita menghujat orang lain, belajarlah merasakan dihina sebelum
kita menghina orang lain. Jika kita sudah pernah merasakannya maka niscaya kita
tidak akan mau melakukannya."
”Setelah itu apa yang
dilakukan ? bagaimana kita bisa kuat menghadapi cemoohan, hinaan, hujatan dan
hal-hal yang tidak biasa kita terima ?” tanya saya lagi pada Guru.
Sejenak beliau mulai
terdiam, Jika kamu sedang di hujat dan dihina maka "lakukan seperti
ini"
"Atur nafas...
rileks... rileks...dan semakin rileks, lalu bayangkan kamu sedang di hakimi
dan....terima....terima....terima... karena dengan menerima ia akan berproses
dari klimaks menuju anti klimaks
....rasakan...rasakan...rasakan..
karena dengan merasakan kamu akan mengerti berada di posisi ini
....
lepaskan..lepaskan...lepaskan..” karena dengan melepaskan semua perasaan yang
menyakitkan akan pergi "
”Lakukan ini berulang-ulang
hingga kamu terbiasa..“ dan semua perasaan negatif itu lepas dan sirna satu
demi satu."
"Wah... sepertinya
sulit betul ya, untuk bisa menjadi teduh, damai dan bijaksana seperti guru
?" , kata saya.
”Pada awalnya mungkin terasa
sulit tapi jika sudah di latih dan di latih lagi maka lama kelamaan akan
menjadi lebih mudah karena terbiasa."
"Persis seperti anak
bayi yang belajar berjalan, awalnya sulit namun sekali ia sudah bisa dan
terbiasa, akan menjadi sangat mudah."
"Jadi latihlah dirimu
dan sering2lah merasakan atau berada di posisi lawan dari peranmu yg sekarang
ini, agar kita benar2 terlatih untuk tidak lagi mudah terpancing dan terusik
oleh isu apapun dan ikut2an menghakimi orang lain. Melainkan MEMPERKUAT PERANMU
SENDIRI untuk menjadi apa, siapa dan melakukan apa di bumi ini"
"Apakah kita ingin
menjadi orang yang merusak atau memperbaiki hidup dan kehidupan ini itu adalah
pilihan kita sendiri berikut konsekuensinya masing-masing".
”Jika kamu bisa melakukan
itu secara spontan, maka damailah di hati dan damailah di bumi.” Beliau
menyudahi penuturannya.
Ya Tuhan... mendengarkan
penuturan ini rasanya diri saya masih terasa jauh sekali dari samudera
keteduhan batin dan jiwa, rupanya saya masih harus mendaki jauh sekali menuju
ke puncak kebijaksanaan tertinggi sebagaimana yang dituturkan Sang Guru
Compassion.
Semoga Tuhan membimbing
setiap langkah ku untuk mendaki satu demi satu anak tangga pelajaran menuju
tataran Guru Compassion yang berhati teduh dan damai.
Sumber : ayahkita