Pernikahan sejatinya adalah
bentuk penghalalan dari segala sesuatu yang sebelumnya diharamkan oleh
syari’at. Sebagaimana telah Allah sebutkan dalam Al-qur’an surah an-nuur :
30-31
{ قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا
مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا...}
[النور: 30، 31]
“Katakanlah kepada laki-laki
mu’min hendaklah menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan mereka, karena
itu lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka
kerjakan. Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan mu’min, hendaklah
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka
menampakkan perhiasan kecuali apa yang biasa tampak darinya…..”
Dalam ayat diatas, Allah
memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman untuk menjaga
pandangan dan memelihara kemaluan karena dapat menyucikan diri mereka. Maka
sebagai bentuk penjagaan Allah Swt, pernikahan adalah solusi agar hal-hal yang
diharamkan bagi laki-laki dan perempuan beriman menjadi halal dan bernilai
ibadah.
Namun dewasa ini, dimana
umat islam semakin jauh dari nilai-nilai agama ditambah lagi dengan kemajuan
teknologi yang semakin tak terbendung, menjadikan manusia bebas melakukan
apapun tanpa batas dan tidak memperhatikan aturan-aturan yang telah Allah
tetapkan. Sehingga kemaksiatan dan kejahatan semakin merajalela dan hubungan
antara laki-laki dan perempuan tidak lagi memiliki batasan antara keduanya.
Dan pergaulan bebas inilah
yang kini menjadi trend hidup remaja masa kini, sehingga banyak kita dapati
perempuan-perempuan yang hamil diluar nikah dan perbuatan zina yang bahkan
terang-terangan dilakukan di depan umum.
Lalu apabila mereka ingin
menikah dan bertaubat dari perbuatan maksiat yang dilakukan, bagaimanakah
hukumnya? Adakah larangan syari’at dalam masalah ini?
Dalam masalah ini, ulama
berbeda pendapat terhadap kebolehan dalam kehalalan pernikahannya. Jumhur ulama
membolehkan menikahi wanita yang pernah berzina walaupun dengan syarat-syarat
yang berbeda. Sementara mazhab Azh-Zhahiriyah melarang menikahi wanita tersebut
kecuali jika ia benar-benar bertaubat. Hal ini berdasarkan pada firman Allh swt
dalam al-qur’an surah an-nuur : 3
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا
زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ
وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ (3)
“Laki-laki penzina tidak
akan menikah kecuali dengan seorang wanita penzina. Dan wanita penzina tidak
akan menikah kecuali dengan lelaki penzina. Dan mereka diharamkan bagi
orang-orang beriman” (An-Nuur : 3)
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Ulama-ulama mazhab Al-Hanafiyah
mengatakan bahwa boleh menikahi wanita yang pernah berzina dan dibolehkan juga
langsung menggauli istrinya tanpa harus menunggu masa istibro’ yaitu menunggu
sampai diketahui tidak ada janin dalam rahimnya. Namun, sebagian dari ulama
mazhab ini menghalalkan pernikahannya tetapi memakruhkan suami yang langsung
menggauli istrinya tanpa menunggu masa istibro’.
Ibnul Humam (w. 681 H) salah
satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadir menuliskan sebagai
berikut :
وَكَذَا إذَا رَأَى امْرَأَةً
تَزْنِي فَتَزَوَّجَهَا حَلَّ لَهُ وَطْؤُهَا قَبْلَ أَنْ يَسْتَبْرِئَهَا عِنْدَهُمَا.
وَقَالَ مُحَمَّدٌ: لَا أُحِبُّ لَهُ أَنْ يَطَأَهَا مَا لَمْ يَسْتَبْرِئْهَا) وَعِنْدَ
زُفَرَ: لَا يَصِحُّ الْعَقْدُ عَلَيْهَا مَا لَمْ تَحِضْ ثَلَاثَ حِيَضٍ
Begitu juga ketika seorang
(laki-laki) melihat perempuan yang sedang berzina kemudian ia menikahinya, maka
dibolehkan baginya untuk menggaulinya bahkan sebelum diketahui tidak adanya
janin dalam rahimnya. Berbeda dengan pendapat Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani
yang mengatakan bahwa ia tidak menyukai perbuatan tersebut (menggauli istrinya)
sampai jelas bahwa tidak ada janin didalam rahimnya. Sedangkan menurut Zufar :
tidak sah akad (nikahnya) sampai ia mengalami tiga kali masa haidh.[1]
Az-Zaila’i (w. 743 H) salah
satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu
Ad-Daqaiq menuliskan sebagai berikut :
أَيْ حَلَّ نِكَاحُ الْمَوْطُوءَةِ
بِزِنًا حَتَّى لَوْ رَأَى امْرَأَةً تَزْنِي فَتَزَوَّجَهَا جَازَ وَلَهُ أَنْ يَطَأَهَا
وَهَذَا صَرِيحٌ بِأَنَّ نِكَاحَ الزَّانِيَةِ يَجُوزُ،
Diperbolehkan menikahi
seorang wanita yang telah berzina bahkan disaat seorang laki-laki melihat
seorang wanita sedang berzina, kemudian ia menikahinya maka hal tersebut
diperbolehkan. dan dibolehkan baginya untuk menggaulinya. dan pendapat inilah
yang jelas menurut madzhab kami, yakni dibolehkannya menikahi wanita yang
pernah berbuat zina.[2]
2. Mazhab Al-Malikiyah
Berbeda dengan mazhab
Al-Hanafiyah, salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah memakruhkan menikahi wanita
yang pernah berzina.
Al-Qarafi (w. 684 H) salah
satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Adz-Dzakhirah menuliskan sebagai
berikut :
كَرِهَ مَالِكٌ نِكَاحَ الزَّانِيَةِ
مِنْ غَيْرِ تَحْرِيمٍ
Menurut Imam Malik, hukum
menikahi seorang pezina adalah makruh namun beliau tidak mengharamkannya.[3]
3. Mazhab Asy-Syafi’i
Dalam mazhab Asy-Syafi’iyah,
sah hukumnya menikahi wanita yang pernah berzina namun perbuatan tersebut
dibenci oleh ulama mazhab ini.
An-Nawawi (w. 676 H) salah
satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah
Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :
وأما نكاحه لها فقد قال الشافعي
رضى الله عنه أكره له ان يتزوجها فإن تزوجها لم أفسخ
Dalam kasus laki-laki yang
menikahi wanita yang dizinainya, Imam Syafii berkata: aku membencinya, tapi
jika dia sudah terlanjur menikahinya maka tidak akan saya fasakh.[4]
Imam Al-Haramain syeikh
Al-Juwaini (w. 478 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Nihayatul
Mathalib fi Diroyatul Madzahib menuliskan sebagai berikut :
مذهبنا: أن نكاح الزانية صحيح،
ولكنا نكره ذلك
Menurut madzhab kami,
menikahi perempuan pezina adalah sah walaupun hukumnya makruh.[5]
4. Mazhab Al-Hanabilah
Ulama mazhab Al-Hanabilah
mengatakan bahwa tidak diperbolehkan menikahi wanita yang pernah berzina
kecuali sudah benar-benar diketahui tidak adanya janin dalam rahimnya.
Ibnu Qudamah (w. 620 H)
ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan
sebagai berikut :
وإذا زنت المرأة، لم يحل لمن يعلم
ذلك نكاحها إلا بشرطين؛ أحدهما، انقضاء عدتها، فإن حملت من الزنى فقضاء عدتها بوضعه،
ولا يحل نكاحها قبل وضعه والشرط الثاني، أن تتوب من الزنا
Apabila seorang wanita
berzina, maka bagi siapa yang mengetahui perbuatannya itu, tidak diperbolehkan
untuk menikahinya kecuali dengan dua syarat ; selesai masa iddahnya, maka bila
dia sedang hamil iddahnya adalah sampai melahirkan. Yang kedua ia harus benar-benar
bertaubat dengan taubatan nashuha.[6]
Ibnu Taimiyah (w. 728 H)
salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Majmu' Fatawa menuliskan
sebagai berikut :
" نِكَاحُ الزَّانِيَةِ
" حَرَامٌ حَتَّى تَتُوبَ، سَوَاءٌ كَانَ زَنَى بِهَا هُوَ أَوْ غَيْرُهُ هَذَا
هُوَ الصَّوَابُ بِلَا رَيْبٍ
Haram hukumnya menikahi
seorang wanita pezina sampai ia benar-benar bertaubat, bagi laki-laki yang
menzinainya atau laki-laki lain.[7]
Al-Mardawi (w. 885 H) salah
satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati
Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :
(وَتَحْرُمُ الزَّانِيَةُ، حَتَّى
تَتُوبَ، وَتَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا) هَذَا الْمَذْهَبُ مُطْلَقًا. وَعَلَيْهِ جَمَاهِيرُ
الْأَصْحَابِ. وَنَصَّ عَلَيْهِ
وَقَالَ بَعْضُ الْأَصْحَابِ:
لَا يَحْرُمُ تَزَوُّجُهَا قَبْلَ التَّوْبَةِ إنْ نَكَحَهَا غَيْرُ الزَّانِي. ذَكَرَهُ
أَبُو يَعْلَى الصَّغِيرُ.
Pendapat madzhab kami adalah
haram hukumnya menikahi wanita pezina sampai ia bertaubat dan selesai masa
iddahnya. Namun sebagian ulama dalam madzhab kami berbeda pendapat; boleh
menikahinya walaupun belum bertaubat bila ia menikah dengan laki-laki lain
(bukan laki-laki yang pernah berzina dengannya).[8]
5. Mazhab Azh-Zhahiriyah
Mazhab Azh-Zhahiriyah
melarang menikahi wanita yang pernah berzina, kecuali ia benar-benar bertaubat
dari perbuatannya tersebut.
Ibnu Hazm (w. 456 H) salah
satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar menuliskan
sebagai berikut :
وَلَا يَحِلُّ لِلزَّانِيَةِ أَنْ
تَنْكِحَ أَحَدًا، لَا زَانِيًا وَلَا عَفِيفًا حَتَّى تَتُوبَ، فَإِذَا تَابَتْ حَلَّ
لَهَا الزَّوَاجُ مِنْ عَفِيفٍ حِينَئِذٍ.
Tidak dibolehkan bagi
seorang wanita yang pernah berzina untuk menikahi dengan siapapun -tidak dengan
seorang lelaki pezina maupun lelaki afif sampai ia bertobat. dan jika ia sudah
bertobat maka dibolehkan baginya untuk menikah dengan lelaki afif.[9]
Wallahu’alam.
sumber : rumahfiqih.com